Waktu ujian hanya tinggal beberapa jam saja, Aku dan temanku pergi ke Masjid untuk menguatkan hafalan. Berjalan ditengah lorong sempit yang disambut cerah berkabut hitam selepas keluar lorong. Pemandangan seperti inilah yang biasa dialami jika hendak keluar rumah. Maklum apartemen yang kami sewa membelakangi masjid Al-Azhar, sehingga perlu berputar arah untuk samapai disana. Atau bisa juga melalui lorong sempit sebagai alternatif pilihan kedua.

Sesampainya di masjid aku disuguhi pemandangan yang tak mengenakkan. Seorang pria paruh baya nampak sedang dipukuli oleh sekelompok pemuda yang sepertinya adalah mahasiswa yang ingin menghafal disana. Aku lantas bertanya pada seorang pemuda yang hanya berdiri tegak mengamati peristiwa itu. “Fii eh ya shadiqi?” dengan penuh rasa kaget aku bertanya tentang apa yang terjadi. Pemuda itu dengan tenang menjawab : “itu ada pencuri yang tertangkap tangan”.

Aku hanya terdiam kaku setelah megetahui kejadian itu. Aku benar-benar kaget, apalagi kulihat tangan si pencuri mengeluarkan darah akibat dipukuli.  Terus terang aku merasa iba dengan nasib pencuri yang belakangan kuketahui mengambil uang beberapa pound saja. Rasanya tak ada apa-apanya jika dibandingkan koruptor yang mengambil milyaran bahkan triliyunan uang milik bersama. Mungkin juga ia mencuri bukan karena rakus pada harta melainkan karena butuh untuk sesuap makan saja. Entahlah, beberapa spekulasi berputar dibenakku, terlebih ketika melihat ia sudah sangat renta dan berjalan terpapah. Ia tak bisa apa-apa.

Aku tak ingin menghukumi ia sebagai pencuri meski ia mengambil uang yang bukan miliknya. Bahkan salah seorang pemuda Mesir membisikan pendapatnya di telingaku. “Kasihan ya bapak itu, fukara sepertinya harus diperlakukan dengan sangat tidak wajar” aku mengiyakan dan memintanya menolong si “pencuri” yang diseret keluar masjid oleh gerombolan pemuda itu. Pemuda tadi nampak beristighfar dan langsung memboyong bapak yang dikerumuni para pemuda itu.

Uang yang bukan miliknya ia ambil. Ia bisa dikatakan pencuri. Tapi apakah itu juga bukan akibat dari kelalaian mereka yang sebenarnya  mampu membelikan makanan untuk kaum dhuafa. Bukankah Islam  tak rela membiarkan saudaranya yang kurang mampu kesulitan menacri rezeki sehingga berdampak mencuri?.

Pikirku kembali bercabang. Kalau saja zakat benar-benar efektif dikeluarkan dan disalurkan pada fakir miskin mungkin mungkin tak harusa ada pencurian karena alasan membutuhkan makanan lagi. Lantas pikiranku kembali terpancing, kenapa hukuman yang diterima si pencuri yang mengambil uang tak seberapa itu begitu berat? Tak sadar aku mengungkapkan pertanyaan itu pada salah seorang teman disampingku. Temanku dengan senyuman khasnya menjawab, “mungkin ini kifarat atas dosa yang ia lakukan untuk memperingan bebannya di akhirat nanti. Berbeda dengan koruptor yang mencuri limpahan harta, ia tinggal menikmati kehidupan dunia yang penuh tipudaya saja karena dia akirat tak ada kesempatan untuk menikmati hidup akibat siksaaan yang abadi. Wallahu a’lam”

Termenung dengan kejadian yang mebuatku bertanya-tanya, aku lantas berupaya mengalihkan pandanganku agar kembali terfokus pada buku yang sedari tadi kubiarkan begitu saja…

#Tafakkur, sesaat sebelum ujian tajwid