Seharian membuka tiap lembaran diktat mata kuliah tafsir tahlili, Subhanallah. Banyak manfaat yang bisa dipetik, terlebih jika apa yang diketahui– dipraktekan dengan segera. Tiap lembarannya semakin membuatku menambah keyakinan betapa besar kapasitas keilmuan ulama Al-Azhar. Pantas saja jika kemudiab ada yang mengatakan ” ‘Ulama Al-Azhar hum ‘Ulama ad-dunya”. Ulama Al-Azhar memang ulama dunia, betapa tidak, Al-Azhar merupakan kiblat ilmu. Selain itu, juga sebagai universitas islam tertua. Diusianya yang tidak muda ini Al-Azhar masih melahirkan ulama besar sekaliber Syaikh Nuruddin ‘Ali Jumah, Mufti Mesir. Bahkan ulama seperti Syaikh Yusuf Qardawi yang begitu dikenal luas merupakan alumninya, kendati beliau bermukim di Qatar. Dosen di kampus juga tak kalah membanggakan. Hampir setiap mata kuliah dipegang oleh dosen senior yang juga guru besar universitas kebanggaan ini; tak jarang buku yang mereka karang, entah itu berupa diktat ataupun turats dan kitab-kitab klasik yang berjilid-jilid menjadi konsumsi kebutuhan umat Islam. Salah satunya adalah buku yang hampir seharian ini berada ditanganku.

Terkadang aku sendiri tak menyadari untuk apa kelak isi dari buku ini? Padahal yang kutahu orientasi mahasiswa secara umum adalah kerja. Benak usilku bercetus, kerja apaan dengan buku ini? Pengajar pesantren kah? Sedang aku tahu gaji yang diperoleh tak begitu menjanjikan. Tapi memang bukan untuk itu, semata ibadah dengan apa yang Allah perintahkan. Sering aku mendapat sindiran dari teman sejawat. Buat apa belajar tafsir? Itu kan tidak menjamin penghidupan, yang ada hanya “karena Allah” yang tak bernilai uang. Belakangan aku semakin sadar bahwa memang bukan uang yang menjadi tujuan hidup. Terinspirasi suatu ayat :

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ   -التوبة:١٢٢

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.

Ayat tersebut seolah mengingatkanku pada memori silam sebelum berangkat ke Mesir. Ayahku sempat berpesan dengan ayat ini, begitu juga guru pesantrenku. Kalau saja semua orang berfikir selaras dengan ayat ini, tentu kewajiban lain seperti saling menasihati dan saling mengingatkan akan berjalan dengan baik. Dibagian akhir ayat tersebut diutarakan agar bisa memberi peringatan kepada kaumnya apabila telah kembali. Tafakkuh fii ad-diin, tentu ini yang benar-benar diharapkan bukan materi yang bersifat duniawi. Meski demikian tak berarti kita terfokus pada urusan akhirat semata, karena pada ayat yang lain Allah SWT berfirman :

وَابْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ اللَّـهُ الدَّارَ الْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَاز

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi. ﴾ Al – Qashash:77 ﴿

Kunci dari apa yang menjadi renungan hari ini adalah Tawazzun, yaitu keseimbangan menyikapi hidup. Aku tak boleh angkuh dengan urusan dunia sehinga melupakan urusan akhirat, begitupun sebaliknya. Ketika kita dihadapkan pada urusan akhirat, kita tak lantas silau dan gelap mata sehinga melupakan urusan di dunia yang tak alain adalah jembatan atau lahan beramal untuk hari akhirat kelak. Dengan kata lain, tawazzun adalah wujud dari sikap adil dalam menghadapi kehidupan dunia dan akhirat. Dalam hal ini aku dituntut untuk lebih bijak dalam menyikapi urusan di kedua kehidupan ini. Ketika belajar agama tak selayaknya membiarkan urusan dunia. Jangan biarkan umat beragama dikebiri dengan adanya sikap hidup keduniawian yang dikotomi. Bukankah yang lebih hebat itu adalah menyelasaikan urusan dunia dan akhirat bukan urusan dunia atau akhirat?

Tepat guna. Demikian harusnya– bahkan ketika aku belajar agama pun, tak boleh luput dari melirik urusan dunia, walaupun bukan tujuan agama. Tak ayal, hal ini pula yang mungki akan membuat dilema. Disatu sisi aku butuh penghidupan dunia, disisi lain urusan akhirat harus lebih diutamakan. Adil inilah yang harus dipahami matang-matang, karena dengannya tak harus melakukan sesuatu dalam porsi yang sama. Adil yang tak mesti sama, menempatkan suatu perkara sesuai dengan porsi sebenarnya– lantas terwujudlah keindahan keselarasan buah dari “tepat guna”. Dan keyakinan ini yang perlahan tumbuh, memang belajar ilmu agama itu penuh tantangan– bahkan ancaman terberatnya adalah tak lagi memperdulikan berapa yang akan aku terima, tapi apa yang harus aku berikan pada umat, pada agama.

Terlepas dari urusan dunia yang bersifat materi, aku sangat yakin, selama aku punya alasan untuk hidup, Allah tak akan membiarkan aku terkurung dalam tempurung dunia yang serba kekurangan. Kekayaan akan diperoleh jika kita dekat dengan Dzat yang Maha Kaya, walaupun tak harus melulu dalam bentuk uang atau materi lainnya. Tugasku kali ini hanyalah tafakkuh fii ad-diin. Dan itu tak berarti terlepas dari dunia yang lantas membuatku sengsara. Selama aku menjalaninya dengan penuh keyakinan dan tepat sasaran, tak keluar dari garis jalanNya, aku yakin dunia dan akhirat akan berpihak padaku

… Wa kafaa billaahi wakiila…

Kairo, 6 Mei 2012

Hamzan Musthofa