Salah satu titel yang sangat diharapkan, kendatipun secara formalitas kurang dikenal, tapi tahukan kawan?  Jarang sekali orang “bergelar”  MUFASSIR. Ini bukan hanya karena tak ada lembaga khusus yang mengeluarkan gelar tersebut, tapi juga prosesnya yang secara substansial memang sangat sulit.

Cari tahu! Mufassir adalah sebutan untuk orang ahli tafsir atau yang menggeluti bidang itu. Nah, tafsir sendiri, dalam Mabadi ilmu tafsir dikatakan bahwasannya itu musytaq dari kata Fassara (فسر) yang berwajan  Taf’il ( تفعيل) yang artinya penjelasan, jadi Tafsir adalah bidang yang memjelaskan lapadz-lapadz Al-Quran.  Singkatnya, untuk memahami makna yang terkandung dalam kitab suci Al-Quran, kita harus masuk dalam ranah TAFSIR. Tantangannya kenapa untuk bisa menafsirkan Al-Quran atau menjadi Mufassir dituntut untuk menguasai ilmu-ilmu penunjangnya, antara lain :

      1. Ilmu Bahasa, tentunya bahasa Arab karen Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab. Ini jelas harus dikuasai karena merupakan dasar untuk mengetahui arti kata dasar atau mufradat tiap lafadz Al-Quran.
      2. Ilmu nahwu, ini juga penunjang ilmu tafsir, sebagaimana diketahui tatabahasa sangat berpengaruh terhadap makna dari sebuah kata, urgensinya terletak pada I’rab yang apabila salah diucapkan maknanya pun akan beruba, tentu jika salah akan berakibat fatal.
      1. Ilmu Shorf, ilmu yang  mempelajari bentuk kata dalam bahasa arab, hal senada juga akan terasa sepserti pada ilmu Nahwu.
      2. Ilmu Isytiqaq, yaitu ilmu yang mempelajari asal pengambilan asal suatu kata, apabila kita memakai sebuah kata yang diambil/diisytiqaq dari dua kata yang berbeda kemudian salah pengambilan juga berbahaya. Sebagai contoh kata al-masih (المسيح) bisa berasal dari kata as-siyaahah ( السياحة ) atau almashu (المسح) keduanya berbeda makna.
      3. Ilmu Ma’ani, dengannya akan difahami faidah makna yang terkandung.
      4. Ilmu Bayan, ilmu penunjang kaitannya dengan kejelasan makna dari sebuah dilalah/petunjuk  atau kemasan yang petunjuk yang samar.
      5. Ilmu Badi’. Berkenaan dengan memperhalus bahasa. Ketiganaya (Ma’ani, Bayan, Badi’) masuk dalam cakupan ilmu Balaghan.
      6. Ilmu Qiraat,  berpengaruh banayak dalam pengucapan  sebuah kata.
      1. Ilmu Ushuluddin. Banyak tercantum dalam Al-Quran ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal yang wajib, mustahil dan yang jaiz bagi Allah.
      2. Ilmu Ushul fiqh, kaitannya dengan pengambilan dan penerapan hukum syar’i.
      3. Ilmu asbab nuzul dan qasas, ilmu yang menjelaskan sebab turunnya ayat dan kisah yang terdapat pada Al-Quran.
      4. Ilmu nasikh mansukh, ilmu ini sangat berpengarauh pada ketetapan hukum.
      5. Ilmu fiqh, membahas tata cara beribadah.
      6. Ilmu hadits, terutama hadits yang menunjang atau memperjelas penafsiran Al-Quran.
      7. Ilmu mauhibah, kemampuan khusus yang dimiliki seorang mufassir, yang satu ini agak sulit didapat karena ini adalah ilmu yang diwariskan Allah SWT pada orang-orang tertentu.

Beranjak dari banyaknya imu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir, dapat disimpulkan bahwa mufassir meruapakan “barang” langka layaknya sesuatu yang berharga. Dan bisa dipastikan ini sangatlah berharga.

Selain daripada itu, objek yang dipelajari dari ilmu tafsir adalah Al-Quran yang notabene Kalam Allah. Tentu ini semakin menguatkan betapa muliannya orang yang menyibukkan diri dalam mengkaji bidang ini.
قال الأصبهاني : أشرف صناعة يتعاطاها الإنسان تفسير القرآن الكريم ؛ ذلك أن شرف الصناعة يكون إما بشرف موضوعها أو بشرف غرضها أو بشدة الحاجة إليها ، والتفسير قد حاز الشرف من الجهات الثلاث فموضوعه كلام الله تعالى ، والغرض منه الوصول إلى السعادة الحقيقية التي لا تفنى ، وأما من جهة شدة الحاجة فلأن كل كمال ديني أو دنيوي عاجلي أو آجلي مفتقر إلى العلوم الشرعية والمعارف الدينية ، وهي متوقفة على العلم بكتاب الله تعالى .

Sebagaimana diketahui, Al-Quran adalah sumber segala ilmu yang menjadi wasilah terlahirnya keteraturan hidup dalam islam. Maka dari itu, tak terukur besarnya derajat ahli Quran.

Ahli Al-Quran adalah Ahlullah, begitu dalam sebuah ungkapan.  Di Universitas islam sekelas Al-Azhar Al-Quran merupakan diktat utama yang harus dikuasai, tak heran, salah satu rektor/grand sayikh  Al-Azhar, Syaikh Muhammad sayyid Thanthawi mengatakan : Laisa Al-Azhariy, man laa yahfadz Al-Quran, “bukanlah seorang azhari (civitas Al-Azhar) orang yang tidak hafal Al-Quran”.  Ungkapan ini jelas merupakan cambuk khusus bagi mahasiswa Al-Azhar untuk mendalami Al-Quran.

Dari itu, sangatlah diharuskan mendalami Al-Quran setelah kini kita mengetahui urgensi dan eksistensi Al-Quran, begitupun ilmu tafsir, terlebih bagi kita yang bukan bangsa Arab yang lebih sukar memahami kandungan Al-Quran. Kendati tidak ada alasan untuk menjauh dan membiarkan diri untuk tidak memahami Al-Quran yang menjadi pedoman hidup, maka alangkah bijaknya jika sedari dini kita memahami Al-Quran. Barang tentu resiko yang dipikul juga tidak sedikit, syetanlah, kemalasanlah dan hal lain yang kerap kali jadai alasan untuk memahami Al-Quran seringkali jadi hambatan untuk mendalami Al-Quran. Tetapi, selama tekad bulat dan misi suci demi tegaknya agama Allah, agaknya ini harus jadi prioritas utama.

Mari menjadi generasi Quraniy!